Dalam ekonomi rumah tangga Islam, uang istri memang haknya. Islam mengakui dan menghormati kepemilikan harta oleh seorang istri yang terlepas dari suaminya. Sehingga, harta yang jelas dimiliki oleh seorang istri tidak bisa dikuasai oleh suaminya.
Sekali lagi, ini berlaku pada harta yang jelas milik istri sendiri. Misalnya, harta bawaan sebelum menikah dengan suaminya. Atau, harta warisan yang diterima oleh seorang istri dari orang tuanya sendiri, ini juga hak mutlak milik dirinya.
Begitu juga dengan mahar atau mas kawin yang diterima dari suaminya, maka itu miliknya sendiri. Termasuk hadiah yang telah diterima dari suaminya, itu juga menjadi miliknya dan tidak bisa diminta kembali.
Para suami harus menghormati hak kepemilikan istrinya. Tidak boleh dikuasai menjadi aset bersama seperti yang berlaku dalam hukum perdata.
Untuk para suami, prinsipnya sederhana saja. Tidak boleh minta dari istri, tapi kalau diberi, jangan pernah ditolak.
Tentu saja ini hanya berlaku untuk harta yang memang murni milik istri sendiri. Sedangkan harta yang diusahakan bersama, juga menjadi miliki bersama. Misalnya, jika suami dan istri sama-sama membesarkan sebuah usaha di rumahnya, tentu ini milik bersama karena diusahakan bersama pula.
Nah, sekarang bagaimana dengan harta suami? Apakah otomatis menjadi milik istri juga?
Saya tidak menemukan alasannya. Tentu suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Dalam arti, suami harus mencukupi semua kebutuhan mereka sesuai kondisi dan kemampuannya.
Namun, bukan berarti tidak semua harta ataupun penghasilan suami menjadi hak bersama istrinya. Seberapa besar nafkah untuk istri dan anaknya? Dengan cara yang makruf (baik), tentu saja sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing yang berbeda kebutuhannya.
Bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah yang layak sedangkan ia mampu? Sejarah mencatat bagaimana seorang istri "curhat" (berkeluh kesah) pada Nabi Muhammad SAW:
"Hindun binti 'Utbah berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Sufyan begitu kikir. Apakah saya berdosa kalau mengambil hartanya untuk memberi makan keluarga kami (Hindun dan anak-anaknya) tanpa sepengetahuannya‘. Rasulullah menjawab, ‘Tidak berdosa bagimu jika menafkahi mereka (anak-anaknya) dengan cara yang patut (batas wajar)." (HR. Muslim)
Rasulullah SAW sudah memberikan jawaban. Harta yang boleh diambil oleh seorang istri adalah apa yang menjadi hak ia sendiri dan anak-anaknya. Dalam konteks sekarang, uang belanja dan semua kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan, dan pengasuhan untuk anak-anak. Tentu juga untuk kebutuhan dasar istri sendiri.
Itu semua adalah batasan hak dan kewajiban suami istri dalam harta dan nafkah. Suami wajib memberi nafkah dan menghormati kepemilikan harta istrinya. Sebagaimana juga istri menghormati harta milik suaminya dan berhak untuk nafkah kebutuhannya pribadi.
Namun dalam kehidupan rumah tangga, di mana kita sudah berjanji setia untuk saling mencintai, hak adalah batas maksimal yang kita minta. Sementara kewajiban merupakan batas minimal yang kita beri.
Karena cinta, seorang suami sah membagi kepemilikan harta dengan istrinya. Dengan cinta pula, tidak dilarang jika istri yang berpenghasilan ikut membantu keuangan keluarga.(Oleh : Ahmad Gozali)
Share this article to your friends :
0 comments:
Post a Comment